Bukan Minat Baca yang rendah tapi akses mendapatkan buku yang sulit

Di kutip dari BANYUWANGI,KOMPAS.com – Trini Hayati, Pendiri Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia mengatakan, minat membaca anak-anak Indonesia tidak rendah, tetapi akses untuk mendapatkan bukunya yang sulit.

Hal tersebut disampaikan Trini saat seminar dengan tema mendirikan perpustakaan tanpa modal di Yayasan Bustanul Hikmah sidoarjo Minggu (7/5/017).

“Data UNESCO menunjukkan jika minat baca anak-anak di Indonesia rendah yaitu dari 10.000 anak hanya ada satu anak yang memiliki minat baca. Tapi bagi saya akses buku yang sulit sebagai kendala. Setiap ada gelar baca di taman-taman banyak kok anak-anak yang langsung datang buat baca. Minat ada tapi untuk mendapatkan akses buku susah jadi minat baca anak kurang,” katanya.

Salah satu solusi meningkatkan minat baca anak adalah dengan membuat pustaka bergerak yang mengakomodasi kebutuhan buku-buku terutama di daerah-daerah. Selain itu juga mendirikan taman baca sehingga anak-anak bisa mengakses buku dengan mudah.

“Buku ini kalau diam tidak dibaca kan sayang. Akan lebih baik jika dikumpulkan lalu dipinjamkan ke anak-anak. Kalau kendalanya karena enggak ada tempat ya bisa dimasukkan ke dalam tas ransel atau kardus lalu di bawa ke tempat-tempat umum dengan gelar lapak buku gratis. Ini yang disebut pustaka bergerak,” jelasnya.

Sementara untuk rumah baca, dia menyebutkan, bisa disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar.

“Tidak harus muluk-muluk tapi bisa berangkat dari apa adanya. Ada beberapa buku di pajang terus ajak anak-anak datang untuk membaca. Jika butuh buku bisa penggalangan buku bekas dan yang terpenting harus istiqomah,” katanya.

Ia mengaku ada beberapa kendala saat akan mendirikan rumah baca antara lain tempat, koleksi buku, jejaring, dana, aturan serta kegiatan.

“Bertemanlah dengan banyak kalangan. Tidak harus dengan mereka bergerak di bidang literasi saja. Bisa siapa saja. Nah di sana kita bisa membuat jaringan untuk membantu kebutuhan rumah baca yang akan kita dirikan,” jelasnya.

Sementara itu Muhammad Fauzi, pemilik Yayasan Bustanul Hikmah Sidoarjo yang juga mengelola rumah baca mengatakan, setiap orang bisa mendirikan rumah baca tapi yang terpenting adalah menjaga agar tetap konsisten.

Itu yang dilakukannya hingga Bustanul Hikmah meraih Juara 1 Gramedia Reading Community Competition 2016 untuk Regional Jawa Timur, Bali, Lombok, dan Banjarmasin.

“Selalu ada pengalaman baru saat memutuskan mendirikan dan mengelola rumah baca. Pengalaman itu yang membuat kita semakin kaya. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kampanye literasi sampai ke anak-anak dan mereka tertarik untuk membaca buku,” katanya. kepada Kompas.com.

Salurkan Donasi Anda

_*”Anak-anak masa depan bangsa ini sangat haus akan bacaan, mereka ingin maju seperti anak-anak di kota .. namun buku-buku yang mereka baca ini sudah dibaca ulang beribu kali! Mereka butuh buku-buku baru!”*_

_*Komunitas BUAI membantu dengan menulis dan menerbitkan dan membagikan buku-buku bermutu bagi mereka secara gratis.*_

_*”Teman-teman juga bisa membantu mereka dengan mensponsori penerbitan buku-buku BUAI ini.*_

_*Ayo teman-teman, bantu donasi semampu dan seikhlas anda melalui:

No. rek : BRI 1750-01-000-856-50-2
AN. FICKY TAUFIKURROCHMAN

Konfirmasi & screen shoot transfer ke :
-kak Ficky : 089-888-38740
-kak Winda : 0821-3664-8034

Atas keikhlasan teman, BUAI akan menghadiahkan satu eksemplar buku yang anda bantu sponsori.

#bukuuntukanakindonesia
#dongenganak
#1000bukuuntukanak
#literasianak
#literasiindonesia

Buku Saja Belum Cukup

Hari ini, tanggal 23 April adalah World Book Day. Saya kira tidak ada yang akan menyangkal bahwa buku perlu hadir dalam keseharian kita. Dengan geliat literasi di sekolah dan masyarakat yang semakin dahsyat, pertanyaan ‘apa pentingnya membaca?’ atau ‘apa itu literasi?’ tidak lagi relevan. Yang lebih sering ditanyakan banyak pihak sekarang adalah ‘apa lagi setelah membaca?’ atau ‘apa yang harus dilakukan dengan literasi?’

Buku sebenarnya hanya satu di antara empat lapis literasi. Buku baru akan berperan maksimal bila tiga lapis lainnya juga menyertai. Keempat lapis literasi yang perlu hadir adalah: lingkungan kaya teks, buku, bahasa tulis, dan bahasa lisan.

Bagaimana agar empat lapis literasi ini dapat mengembangkan praktik dan kemampuan literasi anak? Mari kita belajar singkat tentang ORIM Framework. ORIM adalah singkatan dari OPPORTUNITIES, RECOGNITION, INTERACTION, AND MODELLING.

Menurut kerangka ORIM ini, literasi anak akan berkembang bila orangtua memberikan atau melakukan empat hal: KESEMPATAN, PENGAKUAN, INTERAKSI, dan KETELADANAN. Kerangka ini dapat digunakan untuk mencermati atau merencanakan kegiatan literasi di rumah maupun di sekolah.

Orangtua perlu memberikan kesempatan agar literasi menjadi praktik dan berkembang menjadi kemampuan. Memberikan pensil dan kertas kepada anak, mengajak anak ke perpustakaan dan menjadi anggota, menyediakan ruang di rumah agar peristiwa literasi dapat terjadi, menempatkan buku dan peralatan tulis di tempat yang mudah dijangkau adalah beberapa contoh sederhana yang dapat kita lakukan.

Orangtua juga dapat dan perlu memberikan pengakuan kepada keberhasilan anak, sesimpel apapun, misalnya dengan memberikan catatan pujian, mendiskusikan hal yang berhasil dilakukan anak.

Interaksi dapat dilakukan dengan menyediakan waktu bersama dengan anak melalui kegiatan membaca bersama, bermain tebak kata, bermain Scrabble, atau menulis kartu ucapan untuk teman.

Tak kalah pentingnya, dan barangkali yang paling penting adalah contoh dan keteladanan dari orangtua. Ayah atau ibu yang sering kelihatan membaca dan/atau menulis akan memberikan penguatan bagi anak. Menulis resep, mengetik, mengerjakan Teka Teki Silang, melengkapi formulir, mencatat hal penting ke dalam buku adalah kegiatan sederhana tapi menjadi contoh praktik literasi yang baik di rumah.

Nah, ayah bunda, mau coba seberapa banyak ORIM kita lakukan di rumah dan seberapa kaya lapis literasi kita sediakan di rumah? Silakan amati dan catat kegiatan literasi di rumah dengan menggunakan tabel di atas. Isikan seperti apa kesempatan, pengakuan, interaksi, dan keteladanan yang sudah Anda berikan untuk setiap lapis literasi kepada anak, baik di rumah maupun di sekolah. Anda akan takjub sendiri betapa literatnya Anda sebagai orangtua.

Jangan lupa berbagi kisah ORIM Anda di rumah ya!

Rujukan:

Nutbrown, C, Hannon, P. & Morgan, A. (2005) Early literacy work with families: policy, and research. London: Sage.

https://doingliteracy.wordpress.com/2018/04/23/buku-saja-belum-cukup/

Buku Saja Belum Cukup

Hari ini, tanggal 23 April adalah World Book Day. Saya kira tidak ada yang akan menyangkal bahwa buku perlu hadir dalam keseharian kita. Dengan geliat literasi di sekolah dan masyarakat yang semakin dahsyat, pertanyaan ‘apa pentingnya membaca?’ atau ‘apa itu literasi?’ tidak lagi relevan. Yang lebih sering ditanyakan banyak pihak sekarang adalah ‘apa lagi setelah membaca?’ atau ‘apa yang harus dilakukan dengan literasi?’

Buku sebenarnya hanya satu di antara empat lapis literasi. Buku baru akan berperan maksimal bila tiga lapis lainnya juga menyertai. Keempat lapis literasi yang perlu hadir adalah: lingkungan kaya teks, buku, bahasa tulis, dan bahasa lisan.

Bagaimana agar empat lapis literasi ini dapat mengembangkan praktik dan kemampuan literasi anak? Mari kita belajar singkat tentang ORIM Framework. ORIM adalah singkatan dari OPPORTUNITIES, RECOGNITION, INTERACTION, AND MODELLING.

Menurut kerangka ORIM ini, literasi anak akan berkembang bila orangtua memberikan atau melakukan empat hal: KESEMPATAN, PENGAKUAN, INTERAKSI, dan KETELADANAN. Kerangka ini dapat digunakan untuk mencermati atau merencanakan kegiatan literasi di rumah maupun di sekolah.

Orangtua perlu memberikan kesempatan agar literasi menjadi praktik dan berkembang menjadi kemampuan. Memberikan pensil dan kertas kepada anak, mengajak anak ke perpustakaan dan menjadi anggota, menyediakan ruang di rumah agar peristiwa literasi dapat terjadi, menempatkan buku dan peralatan tulis di tempat yang mudah dijangkau adalah beberapa contoh sederhana yang dapat kita lakukan.

Orangtua juga dapat dan perlu memberikan pengakuan kepada keberhasilan anak, sesimpel apapun, misalnya dengan memberikan catatan pujian, mendiskusikan hal yang berhasil dilakukan anak.

Interaksi dapat dilakukan dengan menyediakan waktu bersama dengan anak melalui kegiatan membaca bersama, bermain tebak kata, bermain Scrabble, atau menulis kartu ucapan untuk teman.

Tak kalah pentingnya, dan barangkali yang paling penting adalah contoh dan keteladanan dari orangtua. Ayah atau ibu yang sering kelihatan membaca dan/atau menulis akan memberikan penguatan bagi anak. Menulis resep, mengetik, mengerjakan Teka Teki Silang, melengkapi formulir, mencatat hal penting ke dalam buku adalah kegiatan sederhana tapi menjadi contoh praktik literasi yang baik di rumah.

Nah, ayah bunda, mau coba seberapa banyak ORIM kita lakukan di rumah dan seberapa kaya lapis literasi kita sediakan di rumah? Silakan amati dan catat kegiatan literasi di rumah dengan menggunakan tabel di atas. Isikan seperti apa kesempatan, pengakuan, interaksi, dan keteladanan yang sudah Anda berikan untuk setiap lapis literasi kepada anak, baik di rumah maupun di sekolah. Anda akan takjub sendiri betapa literatnya Anda sebagai orangtua.

Jangan lupa berbagi kisah ORIM Anda di rumah ya!

Rujukan:

Nutbrown, C, Hannon, P. & Morgan, A. (2005) Early literacy work with families: policy, and research. London: Sage.

https://doingliteracy.wordpress.com/2018/04/23/buku-saja-belum-cukup/

Taman Baca: Model sekolah yang sesungguhnya Oleh : Hafid Abdullah, S.Pd.I

Adalah Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia yang memperkenalkan “Sistem Among” yakni metode pembelajaran yang didasarkan pada konsep Asah, Asih dan Asuh ( Care and Dedicated based on love). Yang menjadikan sekolah sebagai taman bagi siswa. Konsep taman ini merupakan asosiasi dari ruang publik yang hijau, sejuk, luas sehingga anak-anak senantiasa gembira dan senang hati menghabiskan waktu di taman.
Saat ini kondisi beberapa sekolah-sekolah formal di Indonesia mengalami keprihatinan. Krisis karakter bagi sebagian warga sekolah baik itu guru, tenaga pendidikan, peserta didik dan fasilitas pendidikan menjadikan wajah pendidikan Indonesia diprepsesikan “Buram”. Pelbagai prilaku amoral, anarkis, kekerasan, bahkan pornoaksi yang melibatkan warga sekolah terutama peserta didik menjadi bahan pemberitaan mediamassa. Meskipun kejadian tersebut tidak merepresentasikan wajah pendidikan Indonesia.
Atas dasar itulah perlu konsep yang pas untuk sekolah-sekolah kita. Kembalikan fungsi sekolah pada khittahnya yakni sebagai tempat yang menyenangkan, sehat, aman, dan ramah bagi siapa saja. “Taman Baca” sebagai alternatif model of rule diharapkan mampu mengisi kekurangan-kekurangan disekolah-sekolah formal. Taman baca Masyarakat harus didorong untuk terus memperbaiki diri dalam upaya memaksimalkan fungsinya sebagai taman yang menyenangkan, memicu prestasi, sehingga anak didiknya “betah” menghabiskan waktunya di situ, sehingga mereka tidak mencari-cari sumber dan alat kegembiraan yang negatif.
Menyadari hal tersebut, gerakan Buku Untuk Anak Indonesia (BUAI) yang di gagas oleh Komunitas BUAI, di harapkan mampu menjadi sosok ibu yang peduli kepada anak-anaknya yang membuainya dengan kasih sayang. Yang berpartisipasi aktif membangun generasi Emas, unggul secara akademis maupun non akademis didaerah-daerah dengan menerbitkan dan mendistribusikan buku ke-taman baca di seluruh nusantara. Dengan berkolaborasi dengan semua pihak dalam memajukan mutu pendidikan di Indonesia.
Pegiat literasi yang bergabung dalam Komunitas BUAI pun berjuang sekuat tenaga menjadikan taman baca binaannya mampu menjadi taman baca yang impian. Yakni taman baca yang yang mengedepankan Asah, Asih dan Asuh, sehingga menjadi sekolah yang sesungguhnya.

Asmat, 04 April 2018